Pengembangan Disiplin Diri AUD
1.
Hakikat
disiplin untuk AUD
Penerapan
disiplin pada anak-anak akan sangat berguna sekali dalam membantu mereka
mengembangkan kontrol dirinya. Terkadang pada suatu waktu anak-anak melakukan
sesuatu di luar batas-batas yang diinginkan orang tuanya sebagai bagian dari keingin-tahuannya
akan sesuatu.
Anak-anak
mungkin membuat ulah, melanggar aturan, memulai perkelahian, menolak pekerjaan
atau kegiatan rutin keluarga, menggunakan bahasa yang kurang baik, dan
sebagainya. Sebagai orang tua, mengajarkan perilaku yang tepat bagi anak,
menetapkan batas-batas aturan tertentu tentang sesuatu, merupakan hal penting
untuk diingat sebagai tujuan penerapan disiplin.
Disiplin berarti membantu anak mengembangkan kontrol diri terhadap suatu batasan-batasan, pengalaman akan konsekuensi perilakunya, dan belajar dari kesalahan yang diperbuatnya. Disiplin bukan berarti hukuman atau konflik antara orangtua dan anak. Semua anak perlu mengetahui aturan dan batas-batas perilaku yang aman bagi mereka; tanpa perlu merasa bingung.
Fleksibilitas
adalah kata kunci untuk disiplin selama proses tumbuh-kembang anak-anak. Orang
tua harus siap untuk memodifikasi pendekatan penerapan disiplin mereka dari
waktu ke waktu, menggunakan strategi yang berbeda terhadap anak-anak mereka
dalam mengembangkan kapasitas kemandirian yang lebih besar untuk pengaturan
diri dan tanggung jawab anak-anaknya.
Orangtua
mendisiplinkan anak-anak mereka dalam berbagai cara. Para peneliti telah
mengidentifikasi bahwa ada tiga gaya pengasuhan yang paling umum yang dilakukan
oleh orang tua, yakni : otoriter/tegas, berwibawa/moderat dan permisif.
- Orangtua otoriter; sangat ketat mengontrol sikap dan perilaku anak dengan menekankan ketaatan kepada otoritas dan mengesampingkan diskusi. Orang tua dengan tipe sangat ketat terhadap aturan dan seringkali mengandalkan hukuman untuk memastikan aturan itu dijalankan.
- Orangtua moderat, atau sedang; orangtua menentukan batas-batas kedisiplinan bagi anak-anaknya dan bergantung pada konsekuensi alami dan logis bagi anak-anak untuk belajar dari kesalahan yang dibuat oleh diri mereka. Orang tua menjelaskan mengapa aturan itu penting dan mengapa mereka harus mengikutinya. Orang tua tipe ini mau mempertimbangkan sudut pandang anak-anak meskipun mereka mungkin tidak setuju dengan sudut pandang itu. Mereka menunjukkan ketegasan, baik, kehangatan dan cinta. Mereka menetapkan standar yang cukup tinggi dan mendorong anak-anak mereka untuk menjadi mandiri.
- Orang tua permisif, atau memanjakan dengan kontrol yang minimal. Anak-anak diizinkan untuk menetapkan aturan jadwal dan kegiatan mereka sendiri. Orang tua permisif tidak menuntut terlalu tinggi terhadap perilaku anak sebagaimana orang tua otoriter dan moderat.
Tindak lanjut dari studi di atas
menunjukkan bahwa cara moderat, antara otoriter dan permisif, adalah yang
paling efektif dari ketiga gaya tersebut. Anak-anak yang dibesarkan oleh orang
tua moderat cenderung memiliki konsep diri yang baik dan bertanggung jawab,
kooperatif, mandiri dan memiliki kepenasaran intelektual. Anak-anak yang
dibesarkan oleh orangtua yang otoriter cenderung pemalu dan menarik diri,
kurang memiliki kepenasaran intelektual dan tergantung pada suara otoritas.
Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua permisif cenderung dewasa, tetapi
enggan menerima tanggung jawab dan cenderung ingin menunjukkan kebebasan.
2.
Tujuan
disiplin untuk AUD
Tujuannya
adalah memberitahukan kepada anak-anak perilaku mana yang baik dan mana yang
buruk dan mendorongnya untuk berprilaku sesuai dengan standar-standar.
Ada
tiga unsur penting dalam disiplin : peraturan dan hukum yang berfungsi sebagai
pedoman bagi penilaian yang baik, hukuman bagi pelanggaran peraturan dan hukum
dan hadiah untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berprilaku sosial yang
baik. Selama awal masa kanak-kanak yang harus ditekankan adalah aspek
pendidikan dari disiplin dan hukuman hanya diberikan kalau terbukti anak-anak
mengerti apa yang diharapkan dan terlebih lagi kalau ia sengaja melanggar
harapan-harapan ini. Cara untuk meningkatkan keinginan anak-anak untuk belajar
berprilaku sosial yang baik adalah dengan memberikan hadiah.
Jenis Disiplin Yang
Digunakan Pada Awal Masa Kanak-kanak
Ø Disiplin
Otoriter
Dalam
disiplin yang bersifat otoriter, orang tua dan pengasuh yang lain menetapkan
peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi
peraturan-peraturan tersebut. Tidak ada usaha untuk menjelaskan pada anak,
mengapa ia harus patuh dan memberitahukan anak bahwa ia harus patuh dan padanya
tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya
peraturan-peraturan atau apakah peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak.
Kalau anak tidak mengikuti pengaturan, ia akan dihukum yang seringkali kejam
dan keras dan yang dianggap sebagai cara untuk mencegah pelangaran peraturan dimasa
mendatang. Alasan mengapa pelanggaran peraturan oleh anak tidak pernah
dipertimbangkan adalah bahwa ia mengetahui peraturan itu dan sengaja
melanggarnya, juga tidak perlu diberikan hadiah karena telah mematuhi
peraturan. Hal ini dianggap setagal kewajibannya dan tiap pemberian hadiah
dipandang dapat mendorong anak untuk mengharapkan sogokan agar melakukan
sesuatu yang diwajibkan masyrakat.
Ø Disiplin
yang Lemah
Disiplin
yang lemah berkembang sebagai proses terhadap disiplin otoriter yang dialami
oleh banyak orang dewasa dalam masa kanak-kanaknya. Filsafat yang mendasari
teknik disiplin adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri anak akan
belajar bagaimana berprilaku secara sosial. Dengan demikian anak tidak
diajarkan peraturan-peraturan ia tidak dihukum karena sengaja melanggar
peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berprilaku sosial baik. Banyak
orang dewasa saat ini yang cenderung meninggalkan betuk disiplin itu karena
tidak berhasil memenuhi tiga unsur penting dalam disiplin.
Ø Disiplin
Demokratis
Kecendrungan
untuk meyenangi disiplin yang berdasarkan prinsip-prinsip demokratis sekarang
meningkat. Prinsip demikian menekankan hak untuk mengetahui mengapa
peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya
sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Sekalipun anak masih
sangat muda tetapi daripadanya tidak diharapkan prilaku patuh yang buta-butaan.
Diusahakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa kelompok
sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan itu. Dalam disiplin yang
demokratis hukuman “ disesuaikan denga kejahatan” dalam arti diusahakan agar
hukuman yang diberikan berhubungan dengan kesalahan perbuatannya, tidak lagi
diberi hukuman badan. Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan
dengan harapan sosial yang tercakup dalam peraturan-peraturan diperlihatkan
melalui pemberian hadiah terutama dalam bentuk pujian dan pegakuan sosial.
Pengaruh Disiplin Pada
Anak-anak
ü Pengaruh
pada perilaku
Anak
yang orang tuanya lemah akan mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan
hak-hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang mengalami disiplin yang
keras, otoriter akan sangat patuh bila di hadapan orang-orang dewasa, namun
agresif dalam hubungannya dengan teman-teman sebayanya. Anak yang dibesarkan di
bawah disiplin yang demokratis belajar mengendalikan perilaku yang salah dan
mempertimbangkan hak-hak orang lain.
ü Pengaruh
pada sikap
Anak
yang orang tuanya melaksanakan disiplin otoriter maupu disiplin yang lemah cenderung
membenci orang-orang yang berkuasa. Anak yang mengalami disiplin yang otoriter
merasa diperlukan tidak adil ; anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa orang
tua seharusnya memperingatkan bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima
perilaku yang tidak disiplin. Disiplin yang demokratis dapat menyebabkan
kemarahan sementara tetapi bukan kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai
akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju
kepada semua orang yang berkuasa.
ü Pengaruh
pada kepribadian
Semangkin
banyak hukuman fisik yang digunakan, semakin anak cenderung menjadi cemberut,
keras kepala dan negativistik. Ini mengakibatkan penyesuaian pribadi dan sosial
yang buruk, yang juga merupakan ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan
disiplin yang demokratis akan mempunyai penyesuaian pribadi dan penyesuaian
sosial yang terbaik.
3.
Kondisi
yang menunjung dalam pengembangan disiplin diri AUD
Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak
Disiplin diri anak merupakan produk
disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal proses belajar perlu
adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
1)
Melatih. 2) Membiasakan diri berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral. Jika anak telah terlatih dan
terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka, 3) perlu adanya
kontrol orang tua untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol
eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak untuk
menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menciptakan
dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama
antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku
yang dapat dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang
terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua
untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari nilai-nilai moral agama
seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial,
ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata
lain, semua nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari
nilai-nilai agama karena memberikan arah yang jelas kepada anak dan
mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa setiap orang tua dalam membantu anak untuk memiliki kontrol diri, berarti
mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk memiliki manajemen
diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif
kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang
dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh tampilnya:
Pertama. Perilaku
yang patut dicontoh. Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar
perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan
pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi
bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengaktualisasiannya harus senantiasa
ditujukan pada ketaatan nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan
dengan anak-anak.
Kedua, kesadaran
diri ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong mereka agar
perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang
tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi
dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral.
Karena dengan komunikasi yang dialogis ini akan menjembatani kesenjangan,
keinginan dan tujuan di antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali
menjadi pemicu anak berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi
dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang
berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan,
berkenaan dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan
intervensi damai terhadap kesalahan atau penyimpangan perilaku yang tidak
taat nilai moral serta telah melakukan upaya bagaimana meningkatkannya. Dengan
kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol terhadap perilaku
anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan nilai-nilai moral
sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin. Melalui kontrol tersebut, berarti
orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan kepada anaknya untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung
kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak
melakukan dialog dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral
agama. Dalam mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan
hukuman, jika hal tersebut dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak
terhadap perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan
kembali.
Keempat, upaya
selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap nilai –nilai
moral dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut
momen fisik. Hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang
anak yang berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya misalnya,
adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau rak-rak buku yang berisi
kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang bersih, teratur,
dan barang-barang yang tertata rapi mencerminkan nafas
keteraturan dan kebersihan, pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan
nafas kenyamanan dan ketenangan dalam melakukan belajar;
pemilihan tempat tinggal dapat mengaktifkan anak dengan
nilai-nilai moral.
Kelima, penataan
lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan
menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan
semakin terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua
dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin dekat dan akrab dengan
nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi dengan menata lingkungan sosial karena
dalam penataannya dapat dikemas nilai moral dalam pola hubungan
antar keluarga, cara berkomunikasi, kekompakan dan adanya
indikasi-indikasi pendidikan. Penataan ini merupakan realisasi
orang tua dalam mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan
untuk menumbuhkan kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata
lingkungan sosial, orang tua dituntut untuk menciptakan adanya pola
komunikasi antar anggota keluarga yang bermuatan nilai-nilai moral.
Pola komunikasi ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman,
mimik, atau ungkapan kata. Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota
keluarga menjadi lebih akrab, saling memiliki, dan merasa aman dalam
keluarga.
Keenam, penataan
lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan antara anak-anak
dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya
penghayatan dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan
lingkungan pendidikan akan semakin bermakna bagi anak jika mampu
menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya untuk
mempelajari nilai-nilai moral. Upaya yang dapat dilakukan oleh
orang tua adalah menata suasana psikologis dalam keluarga. Penataan suasana
psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan suasana kejiwaan yang
menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Kedelapan, penataan
penataan suasana psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara
transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam
kehidupan keluarga. Berdasarkan upaya di atas sangat
diperlukan sebagai panduan dalam membuat perubahan dan pertumbuhan
anak, memelihara harga diri, dan dalam menjaga hubungan erat antara orang
tua dengan anak. Dari ketiga panduan ini lahir strategi yang
mengharuskan orang tua memiliki kemampuan mengatur (manajemen) anak,
mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan
acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan pendidikan.
Selanjutnya Combs menyatakan bahwa bantuan yang diberikan orang tua
kepada anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu membantu
mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki
pandangan yang positif terhadap dirinya, membaca
kesuksesan yang telah diraih dan memberikan motivasi-motivasi untuk
meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara dirinya dengan anak-anak.
4.
Beberapa
cara umum dalam penanaman disiplin terhadap AUD
Esensi pendidikan umum adalah proses
menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan sebanyak mungkin subyek
didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk mencapai kehidupan
yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesengajaan atau
kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak belajar yang sesuai dengan
tujuan. Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup dua dimensi yaitu
dimensi pedagogis dan dimensi subtantif. Dimensi pedagogis
adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang sebanyak mungkin anak didik
terundang untuk memperluas dan memperdalam dimensi substansif.
Pendidikan umum dilaksanakan dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, keluarga
merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab
dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum
adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi.
Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua) adalah
menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak
untuk memperdalam dan memperluas makna-makna esensial. Orang tua dapat
melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati oleh
anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin. Pendidikan
dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai
moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup
yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota
keluarga yang bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki
keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,
aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna
bagi dirinya sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab
orang tua adalah mengupayakan agar anak disiplin diri untuk melaksanakan
hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan
lingkungan alam dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin
diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi
manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan warga negara yang
baik. Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang
demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua
dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga
ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, anak yang merasa diterima oleh orang
tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi
“pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata
hati.
DAFTAR
PUSTAKA
Hurlock, B Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Sohib. (1998). Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan
disiplin Diri. Jakarta : PT Rineka Cipta
http://www.masbied.com/2011/02/22/peranan-keluarga-dalam-menentukan-tingkat-disiplin-anak/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar