Sabtu, 01 Desember 2012

Pengembangan Disiplin Diri AUD


Pengembangan Disiplin Diri AUD
1.      Hakikat disiplin untuk AUD
Penerapan disiplin pada anak-anak akan sangat berguna sekali dalam membantu mereka mengembangkan kontrol dirinya. Terkadang pada suatu waktu anak-anak melakukan sesuatu di luar batas-batas yang diinginkan orang tuanya sebagai bagian dari keingin-tahuannya akan sesuatu.
Anak-anak mungkin membuat ulah, melanggar aturan, memulai perkelahian, menolak pekerjaan atau kegiatan rutin keluarga, menggunakan bahasa yang kurang baik, dan sebagainya. Sebagai orang tua, mengajarkan perilaku yang tepat bagi anak, menetapkan batas-batas aturan tertentu tentang sesuatu, merupakan hal penting untuk diingat sebagai tujuan penerapan disiplin.

Disiplin berarti membantu anak mengembangkan kontrol diri terhadap suatu batasan-batasan, pengalaman akan konsekuensi perilakunya, dan belajar dari kesalahan yang diperbuatnya. Disiplin bukan berarti hukuman atau konflik antara orangtua dan anak. Semua anak perlu mengetahui aturan dan batas-batas perilaku yang aman bagi mereka; tanpa perlu merasa bingung.
Fleksibilitas adalah kata kunci untuk disiplin selama proses tumbuh-kembang anak-anak. Orang tua harus siap untuk memodifikasi pendekatan penerapan disiplin mereka dari waktu ke waktu, menggunakan strategi yang berbeda terhadap anak-anak mereka dalam mengembangkan kapasitas kemandirian yang lebih besar untuk pengaturan diri dan tanggung jawab anak-anaknya.

Orangtua mendisiplinkan anak-anak mereka dalam berbagai cara. Para peneliti telah mengidentifikasi bahwa ada tiga gaya pengasuhan yang paling umum yang dilakukan oleh orang tua, yakni : otoriter/tegas, berwibawa/moderat dan permisif.
  • Orangtua otoriter; sangat ketat mengontrol sikap dan perilaku anak dengan menekankan ketaatan kepada otoritas dan mengesampingkan diskusi. Orang tua dengan tipe sangat ketat terhadap aturan dan seringkali mengandalkan hukuman untuk memastikan aturan itu dijalankan.
  • Orangtua moderat, atau sedang; orangtua menentukan batas-batas kedisiplinan bagi anak-anaknya dan bergantung pada konsekuensi alami dan logis bagi anak-anak untuk belajar dari kesalahan yang dibuat oleh diri mereka. Orang tua menjelaskan mengapa aturan itu penting dan mengapa mereka harus mengikutinya. Orang tua tipe ini mau mempertimbangkan sudut pandang anak-anak meskipun mereka mungkin tidak setuju dengan sudut pandang itu. Mereka menunjukkan ketegasan, baik, kehangatan dan cinta. Mereka menetapkan standar yang cukup tinggi dan mendorong anak-anak mereka untuk menjadi mandiri.
  • Orang tua permisif, atau memanjakan dengan kontrol yang minimal. Anak-anak diizinkan untuk menetapkan aturan jadwal dan kegiatan mereka sendiri. Orang tua permisif tidak menuntut terlalu tinggi terhadap perilaku anak sebagaimana orang tua otoriter dan moderat.
Tindak lanjut dari studi di atas menunjukkan bahwa cara moderat, antara otoriter dan permisif, adalah yang paling efektif dari ketiga gaya tersebut. Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua moderat cenderung memiliki konsep diri yang baik dan bertanggung jawab, kooperatif, mandiri dan memiliki kepenasaran intelektual. Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang otoriter cenderung pemalu dan menarik diri, kurang memiliki kepenasaran intelektual dan tergantung pada suara otoritas. Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua permisif cenderung dewasa, tetapi enggan menerima tanggung jawab dan cenderung ingin menunjukkan kebebasan.
2.      Tujuan disiplin untuk AUD
Tujuannya adalah memberitahukan kepada anak-anak perilaku mana yang baik dan mana yang buruk dan mendorongnya untuk berprilaku sesuai dengan standar-standar.
Ada tiga unsur penting dalam disiplin : peraturan dan hukum yang berfungsi sebagai pedoman bagi penilaian yang baik, hukuman bagi pelanggaran peraturan dan hukum dan hadiah untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berprilaku sosial yang baik. Selama awal masa kanak-kanak yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dari disiplin dan hukuman hanya diberikan kalau terbukti anak-anak mengerti apa yang diharapkan dan terlebih lagi kalau ia sengaja melanggar harapan-harapan ini. Cara untuk meningkatkan keinginan anak-anak untuk belajar berprilaku sosial yang baik adalah dengan memberikan hadiah.
Jenis Disiplin Yang Digunakan Pada Awal Masa Kanak-kanak
Ø  Disiplin Otoriter
Dalam disiplin yang bersifat otoriter, orang tua dan pengasuh yang lain menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Tidak ada usaha untuk menjelaskan pada anak, mengapa ia harus patuh dan memberitahukan anak bahwa ia harus patuh dan padanya tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya peraturan-peraturan atau apakah peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak. Kalau anak tidak mengikuti pengaturan, ia akan dihukum yang seringkali kejam dan keras dan yang dianggap sebagai cara untuk mencegah pelangaran peraturan dimasa mendatang. Alasan mengapa pelanggaran peraturan oleh anak tidak pernah dipertimbangkan adalah bahwa ia mengetahui peraturan itu dan sengaja melanggarnya, juga tidak perlu diberikan hadiah karena telah mematuhi peraturan. Hal ini dianggap setagal kewajibannya dan tiap pemberian hadiah dipandang dapat mendorong anak untuk mengharapkan sogokan agar melakukan sesuatu yang diwajibkan masyrakat.
Ø  Disiplin yang Lemah
Disiplin yang lemah berkembang sebagai proses terhadap disiplin otoriter yang dialami oleh banyak orang dewasa dalam masa kanak-kanaknya. Filsafat yang mendasari teknik disiplin adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berprilaku secara sosial. Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan-peraturan ia tidak dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berprilaku sosial baik. Banyak orang dewasa saat ini yang cenderung meninggalkan betuk disiplin itu karena tidak berhasil memenuhi tiga unsur penting dalam disiplin.
Ø  Disiplin Demokratis
Kecendrungan untuk meyenangi disiplin yang berdasarkan prinsip-prinsip demokratis sekarang meningkat. Prinsip demikian menekankan hak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi daripadanya tidak diharapkan prilaku patuh yang buta-butaan. Diusahakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan itu. Dalam disiplin yang demokratis hukuman “ disesuaikan denga kejahatan” dalam arti diusahakan agar hukuman yang diberikan berhubungan dengan kesalahan perbuatannya, tidak lagi diberi hukuman badan. Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan sosial yang tercakup dalam peraturan-peraturan diperlihatkan melalui pemberian hadiah terutama dalam bentuk pujian dan pegakuan sosial.
Pengaruh Disiplin Pada Anak-anak
ü  Pengaruh pada perilaku
Anak yang orang tuanya lemah akan mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak-hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter akan sangat patuh bila di hadapan orang-orang dewasa, namun agresif dalam hubungannya dengan teman-teman sebayanya. Anak yang dibesarkan di bawah disiplin yang demokratis belajar mengendalikan perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.
ü  Pengaruh pada sikap
Anak yang orang tuanya melaksanakan disiplin otoriter maupu disiplin yang lemah cenderung membenci orang-orang yang berkuasa. Anak yang mengalami disiplin yang otoriter merasa diperlukan tidak adil ; anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memperingatkan bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima perilaku yang tidak disiplin. Disiplin yang demokratis dapat menyebabkan kemarahan sementara tetapi bukan kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa.
ü  Pengaruh pada kepribadian
Semangkin banyak hukuman fisik yang digunakan, semakin anak cenderung menjadi cemberut, keras kepala dan negativistik. Ini mengakibatkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga merupakan ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan mempunyai penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang terbaik.

3.      Kondisi yang menunjung dalam pengembangan disiplin diri AUD
Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak
Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal proses belajar perlu adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
1)     Melatih. 2) Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral.  Jika anak telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka, 3) perlu adanya kontrol orang tua untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak untuk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menciptakan dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari nilai-nilai moral agama seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial, ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain, semua nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama karena memberikan arah yang  jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap orang tua dalam membantu anak untuk memiliki kontrol diri, berarti mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk memiliki manajemen diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif  kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh tampilnya:
Pertama. Perilaku yang patut dicontoh.  Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar perilaku  yang  bersifat  mekanik, tetapi harus didasarkan  pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengaktualisasiannya harus senantiasa  ditujukan pada ketaatan  nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan dengan anak-anak.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan komunikasi yang dialogis ini akan menjembatani kesenjangan,  keinginan dan tujuan di antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan, berkenaan dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan intervensi damai terhadap kesalahan atau penyimpangan  perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah melakukan upaya bagaimana meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol terhadap perilaku  anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin. Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak melakukan dialog dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama. Dalam mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan hukuman,  jika hal tersebut dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak terhadap perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan kembali.
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap  nilai –nilai moral dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik.  Hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya  misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau rak-rak buku yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang bersih, teratur, dan barang-barang  yang  tertata  rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan, pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan  nafas  kenyamanan  dan ketenangan dalam melakukan belajar;  pemilihan tempat  tinggal dapat mengaktifkan anak  dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin dekat  dan akrab  dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi dengan menata lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas nilai  moral dalam pola hubungan  antar  keluarga,  cara berkomunikasi,  kekompakan dan adanya indikasi-indikasi pendidikan.  Penataan ini merupakan realisasi  orang tua dalam  mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan untuk menumbuhkan kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata lingkungan sosial, orang tua dituntut  untuk  menciptakan adanya pola komunikasi antar anggota keluarga  yang  bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata. Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota keluarga menjadi lebih akrab,  saling memiliki, dan merasa aman dalam keluarga.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan  antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna  bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya  untuk  mempelajari  nilai-nilai  moral. Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam keluarga. Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan suasana kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Kedelapan, penataan penataan suasana  psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga. Berdasarkan  upaya  di atas  sangat  diperlukan sebagai panduan dalam  membuat  perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri,  dan dalam menjaga hubungan erat antara orang tua dengan anak.  Dari  ketiga panduan ini lahir strategi yang mengharuskan orang tua memiliki kemampuan mengatur (manajemen) anak,  mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan pendidikan.  Selanjutnya  Combs menyatakan bahwa bantuan yang diberikan  orang tua kepada  anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu membantu mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki pandangan yang positif  terhadap  dirinya,  membaca  kesuksesan yang telah diraih dan memberikan motivasi-motivasi untuk meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara dirinya dengan anak-anak.

4.      Beberapa cara umum dalam penanaman disiplin terhadap AUD
Esensi pendidikan umum adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan sebanyak mungkin subyek didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk mencapai kehidupan yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesengajaan atau kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak belajar yang sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup dua dimensi yaitu dimensi pedagogis dan dimensi subtantif. Dimensi pedagogis adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang sebanyak mungkin anak didik terundang untuk memperluas dan memperdalam dimensi substansif.
Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.  Dengan demikian, keluarga merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab  dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua) adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak untuk memperdalam dan memperluas makna-makna esensial. Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati oleh anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,  aturan-aturan  pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah mengupayakan agar anak disiplin  diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan warga negara yang baik. Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, anak yang merasa diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan  berdasarkan kata hati.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, B Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Sohib. (1998). Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan disiplin Diri. Jakarta : PT Rineka Cipta
http://www.masbied.com/2011/02/22/peranan-keluarga-dalam-menentukan-tingkat-disiplin-anak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar