Jumat, 14 Desember 2012

Peranan Keluarga dalam Menentukan Tingkat Disiplin Anak



A. Posisi Keluarga Dalam Menentukan Tingkat Disiplin Pada Anak

Esensi pendidikan umum adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan sebanyak mungkin subyek didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk mencapai kehidupan yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesengajaan atau kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak belajar yang sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup dua dimensi yaitu dimensi pedagogis dan dimensi subtantif. Dimensi pedagogis adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang sebanyak mungkin anak didik terundang untuk memperluas dan memperdalam dimensi substansif.
Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.  Dengan demikian, keluarga merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab  dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua) adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak untuk memperdalam dan memperluas makna-makna esensial.
Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati oleh anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin.
Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,  aturan-aturan  pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah mengupayakan agar anak disiplin  diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan warga negara yang baik.
Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, anak yang merasa diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan  berdasarkan kata hati.

B. Makna Keluarga Bagi Anak

Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. 
Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan antara interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagogis.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang  yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang dimaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkadang perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.
Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga tersebut, esensi keluarga (ibu dan ayah) adalah kesatuan dan ke satu tujuan adalah keutuhan dalam mengupayakan anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Keluarga yang “utuh” memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan, bimbingan, dan bantuan orang tua yang diberikan kepada anak dan “menyatu” dan memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw bersama dengan istrinya yang tercinta terdapat nilai-nilai pendidikan/bimbingan yang sangat mendasar untuk dijadikan pedoman dalam rumah tangga bagi segenap masyarakat muslim guna mencapai kehidupan keluarga yang ideal dan sakinah. Semakin dikaji tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw, maka semakin nampak pula pelajaran yang berharga bagi kita dalam upaya membina sebuah keluarga.
Jika rumah tangga, masyarakat dan sekolah adalah sendi bimbingan insani, maka rumah tangga merupakan pemberi pengaruh utama yang lebih kuat di samping di sekolah atau dalam masyarakat. Sebagai pemimpin, orang tua harus mampu menuntun, mengarahkan, mengawasi, mempengaruhi dan menggerakkan si anak agar penuh dengan gairah untuk memberikan motivasi pada anak. Sebaiknya orang  tua harus mampu berkomunikasi sehingga muncul kepercayaan timbal balik dengan anak.
Sebenarnya orang tua tahu persis tentang anaknya. Dari pengalaman sejak bayi lahir hingga masa anak-anak kita sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya,  jadi diperlukan keluwesan untuk mengubah tingkah laku agar mau berprestasi. Orang tua  harus terus menerus memperhatikan perkembangan anak.
Keluarga dapat menciptakan suasana nyaman di rumah agar anak merasa betah berada di dekat pemimpinnya. Ciptakan rasa aman dalam dirinya, jangan sampai anak kita merasa lebih aman berada di lingkungan teman-temannya  ketimbang di lingkungan keluarganya.

C. Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak 

Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal proses belajar perlu adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1) Melatih.   (2) Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral.  Jika anak telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka, (3) perlu adanya kontrol orang tua untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak untuk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menciptakan dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari nilai-nilai moral agama seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial, ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain, semua nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama karena memberikan arah yang  jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manakala setiap orang tua dalam membantu anak untuk memiliki kontrol diri, berarti mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk memiliki manajemen diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif  kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh tampilnya:
Pertama. Perilaku yang patut dicontoh.  Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar perilaku  yang  bersifat  mekanik, tetapi harus didasarkan  pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengaktualisasiannya harus senantiasa  ditujukan pada ketaatan  nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan dengan anak-anak.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan komunikasi yang dialogis ini akan menjembatani kesenjangan,  keinginan dan tujuan di antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan, berkenaan dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan intervensi damai terhadap kesalahan atau penyimpangan  perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah melakukan upaya bagaimana meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol terhadap perilaku  anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin.
Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak melakukan dialog dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama. Dalam mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan hukuman,  jika hal tersebut dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak terhadap perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan kembali.
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap  nilai –nilai moral dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik.  Hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya  misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau rak-rak buku yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang bersih, teratur, dan barang-barang  yang  tertata  rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan, pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan  nafas  kenyamanan  dan ketenangan dalam melakukan belajar;  pemilihan tempat  tinggal dapat mengaktifkan anak  dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin dekat  dan akrab  dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi dengan menata lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas nilai  moral dalam pola hubungan  antar  keluarga,  cara berkomunikasi,  kekompakan dan adanya indikasi-indikasi pendidikan.  Penataan ini merupakan realisasi  orang tua dalam  mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan untuk menumbuhkan kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata lingkungan sosial, orang tua dituntut  untuk  menciptakan adanya pola komunikasi antar anggota keluarga  yang  bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata.
Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota keluarga menjadi lebih akrab,  saling memiliki, dan merasa aman dalam keluarga.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan  antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna  bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya  untuk  mempelajari  nilai-nilai  moral. Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam keluarga. Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan suasana kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Kedelapan, penataan penataan suasana  psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga.
Berdasarkan  upaya  di atas  sangat  diperlukan sebagai panduan dalam  membuat  perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri,  dan dalam menjaga hubungan erat antara orang tua dengan anak.  Dari  ketiga panduan ini lahir strategi yang mengharuskan orang tua memiliki kemampuan mengatur (manajemen) anak,  mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan pendidikan.  Selanjutnya  Combs menyatakan bahwa bantuan yang diberikan  orang tua kepada  anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu membantu mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki pandangan yang positif  terhadap  dirinya,  membaca  kesuksesan yang telah diraih dan memberikan motivasi-motivasi untuk meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara dirinya dengan anak-anak.

 D. Pola Pembinaan Keluarga

Pembinaan anak adalah tugas yang sangat mulia. Orang tua memegang peranan penting dalam membina anak di lingkungan rumah tangga, sebab orang tua yang hampir setiap hari berada di rumah.  Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama  dan utama,  orang tua haruslah menjadi tokoh utama di dalam pekerjaan membina anaknya. Dalam pergaulan bersama dengan anak-anaknya, teristimewa ketika mereka masih kecil, maka orang tua haruslah senantiasa menjadi pembimbing dan teman mereka yang baik pula.
Orang tua yang harus dihormati bukanlah orang tua yang tidak pernah menanamkan pendidikan keagamaan, tidak pernah memberikan contoh tauladan yang baik, tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk belajar agama dalam kehidupan sehari-hari dan tidak  pernah mencerminkan syiar-syiar  Islam. Pokoknya dengan kata lain selaku orang tua tidak menanamkan pendidikan keagamaan kepada anak-anaknya yang mengarah untuk mengenal sekaligus berbakti kepada Allah SWT,  dan berbakti kepada orang tuanya. Ibarat memelihara binatang, cukup tiap harinya diberi makan dan minum, sandang sudah cukup mewah,  sementara  rohaninya kosong dari nilai-nilai keagamaan. Kalau memang demikian keadaannya, janganlah mengharapkan si orang tua itu harus dihormati. Bagaimana anak harus berbakti, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya harus berbakti, bagaimana anak mengajarkan shalat, kalau orang tuanya sendiri tidak pernah memberikan contoh mengajarkan shalat kepada anaknya, demikian seterusnya.
Anak adalah titipan  Ilahi yang harus dipelihara dan ditunaikan hak-haknya, sebab kelak pada hari perhitungan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang dititipkan itu. Jadi selaku orang tua, kalau ia mengharapkan harus ditaati olehnya anaknya, maka terlebih dahulu para orang tua harus menanamkan modal dasar pendidikan hak-hak dari anak-anaknya (dalam hal ini minta dihormati), maka laksanakanlah dahulu kewajiban itu sebagai orang tua.
Ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak. Perhatian, pengharapan dan kasih sayangnya, Sebab ia merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak. Ia menyusukannya dan ia mengganti pakaiannya,  artinya ialah yang memenuhi kebutuhannya akan makanan dan kebutuhan untuk menghindari rasa sakit akibat basah. Lambat laun wajah ibu menjadi bergandengan dengan pemenuhan kebutuhan primer penting tersebut, yang harus dipenuhi oleh anak sehingga sesudah  itu  anak  menginginkan  supaya  ibunya senantiasa ada untuk dirinya.
Ibu sebagai pembimbing dan pengatur rumah tangga, baik buruknya bimbingan itu terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan watak dan karakter anaknya di kemudian hari.
Cara yang paling baik untuk membina anak supaya dapat berkembang watak dan karakternya adalah dengan memberi teladan kepada mereka.  Pengendalian diri juga sangat perlu diajarkan seorang ibu kepada  anak  di dalam rumah tangga, karena seorang anak yang dapat mengendalikan  diri, berarti pintu kebahagiaan akan terbuka baginya.
Itulah sebabnya seorang ibu harus membina anaknya untuk mengendalikan tingkah lakunya melalui bimbingan yang dimulai dari keluarganya.  Sebab  anak  yang  tidak dibina pola tingkah lakunya dan tidak mampu mengendalikan diri, maka kelak akan mengalami kesulitan hubungan sosialnya dalam pergaulan di masyarakat.
Bagi setiap ibu,  mendidik anak-anaknya itu bukan saja setelah lahir sampai beranjak dewasa, namun harus di mulai sejak dalam kandungan dengan jalan memelihara dirinya dari setiap pengaruh kejiwaan yang negatif,  sebab  hal  itu akan banyak memberi pengaruh pula terhadap faktor si anak yang berada di dalam kandungannya.
Suatu anggapan bahwa pekerjaan ibu di rumah tangga nilainya kecil adalah keliru. Sesungguhnya, tugas mendidik anak bukanlah soal kecil. Biarlah setiap ibu insyaf akan kesucian tanggung jawabnya. Tiada pekerjaan lain yang bisa disamakan dengan pekerjaan pembentukan tabiat.
Setiap banyaknya orang di dunia ini yang tidak menyadari cinta dan pengorbanan ibunya, demikian pula bahwa bukan sedikit kaum ibu yang  tidak  melakukan kewajiban sebagaimana mestinya terhadap keturunan mereka.  Bukan sedikitnya  anak-anak  muda yang akhirnya menjadi rusak karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah tangganya.  Perasaan  kurang  perhatian  dari  orang  tua menyebabkan anaknya gelisah dan kurang puas.
Jikalau seorang ibu sudah mendidik anak-anaknya tentang bagaimana menghormati, menuruti, mengendalikan diri, dan mempunyai tabiat yang jujur, berarti seorang ibu sudah mempersiapkan  anak-anaknya  yang tangguh dan berkepribadian yang tulus ikhlas, berpendidikan yang luhur dan siap bergaul di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas ibu adalah memelihara dan tugas ayah bekerja mencari uang. Seorang ayah tidak pantas membuat atau menyediakan susu botol, menggendong,  memandikan  dan mengganti pakaian, dengan kata lain terdapat pembagian tugas dan kewajiban yang ketat antara ayah dan ibu. Untuk  perkembangan  anak  atau  demi  keharmonisan rumah tangga, anggapan bahwa  semacam itu sebetulnya merugikan. Seorang ayah sampai batas-batas tertentu harus melibatkan diri dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Merawat bayi dan anak bukanlah monopoli kaum ibu.  Dengan sekali-kali ikut menyediakan susu bayi,  memandikan dan sebagainya. Di samping akan menambah rasa hormat istri pada suami, juga akan terbina ikatan emosional antara ayah dan anak.
Untuk menjalankan kepemimpinan dan pengawasan dalam rumah tangga  diperlukan  kesabaran, ketabahan, keadilan dan wibawa yang tinggi.
Hasil penelitian yang ada hingga sekarang telah membuktikan bahwa faktor ayah merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak.  Menurut teori psikoanalisis bahwa: “Ayah merupakan tokoh identifikasi (di samping ibu) bagi anak, sementara anak menjadikan pribadi ayah sebagai tolak ukur atau bandingan bagi perilakunya sendiri.”
Selain itu, ayah juga merupakan tokoh pelindung, yang di mata anak merupakan orang yang akan menyelamatkan dirinya, jika sewaktu-waktu ada bahaya mengancam. Jelaslah, bahwa jika ayah melakukan peranannya dengan baik, anak akan tumbuh menjadi orang yang  berkepribadian  mantap.  Sebaliknya jika ayah kurang berperan dalam kehidupan anak, maka si anak akan kehilangan pegangan dan selalu merasa ragu-ragu di samping kurang adanya rasa percaya diri.
Dalam pembinaan anak, diperlukan adanya tanggung jawab orang tua harus ditempuh meliputi :
-         Memperlakukan anak-anak secara lembut dan penuh kasih sayang
-         Menanamkan rasa cinta kasih
-         Menanamkan akidah dan tauhid
-         Mendidik akhlak
-         Menyuruh berpakaian taqwa
-         Mendidik bertetangga dan bermasyarakat
-         Mencegah atau melarang pergaulan bebas
-         Mengajarkan Al-Qur’an
-         Mengajarkan halal dan haram
-         Menjauhkan hal-hal yang porno

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Moh. Sohib Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan disiplin Diri (Cet I; PT Rineka Cipta; Jakarta: 1998), h.1-6
Ali Ismail, Panduan Praktis Bagi Orang Tua Mendampingi Remaja Meraih Sukses (Cet. I ; Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2000). h. 35
http://www.masbied.com/2011/02/22/peranan-keluarga-dalam-menentukan-tingkat-disiplin-anak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar