A. Posisi Keluarga Dalam Menentukan Tingkat
Disiplin Pada Anak
Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, keluarga merupakan
salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab dalam
pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan
subyek didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan
ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua) adalah menciptakan situasi
dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak untuk memperdalam
dan memperluas makna-makna esensial.
Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan
situasi dan kondisi yang dihayati oleh anak-anak agar memiliki dasar-dasar
dalam mengembangkan disiplin.
Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama,
nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta
pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri
berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-aturan
pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri,
masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah
mengupayakan agar anak disiplin diri untuk melaksanakan hubungan dengan
Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam
dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah
mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia
yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan warga negara yang baik.
Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap
orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara
anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh
orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, anak yang merasa
diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima, dan
menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk
diapresiasikan berdasarkan kata hati.
B. Makna Keluarga Bagi Anak
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah
dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu
kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi
keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial,
keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling
berhubungan antara interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang
lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga
berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan
keluarga pedagogis.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan
orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan masing-masing anggota
merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling
memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian
pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih
sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan,
yang dimaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi
dan saling menyempurnakan diri itu terkadang perealisasian peran dan fungsi
sebagai orang tua.
Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga
tersebut, esensi keluarga (ibu dan ayah) adalah kesatuan dan ke satu tujuan
adalah keutuhan dalam mengupayakan anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap
disiplin.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah
keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan
sikap disiplin. Keluarga yang “utuh” memberikan peluang besar bagi anak untuk
membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya yang merupakan unsur esensial
dalam membantu anak memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Kepercayaan dari
orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan, bimbingan, dan
bantuan orang tua yang diberikan kepada anak dan “menyatu” dan memudahkan anak
untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah
Saw bersama dengan istrinya yang tercinta terdapat nilai-nilai
pendidikan/bimbingan yang sangat mendasar untuk dijadikan pedoman dalam rumah
tangga bagi segenap masyarakat muslim guna mencapai kehidupan keluarga yang
ideal dan sakinah. Semakin dikaji tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah
Saw, maka semakin nampak pula pelajaran yang berharga bagi kita dalam upaya
membina sebuah keluarga.
Jika rumah tangga, masyarakat dan sekolah adalah sendi
bimbingan insani, maka rumah tangga merupakan pemberi pengaruh utama yang lebih
kuat di samping di sekolah atau dalam masyarakat. Sebagai pemimpin, orang tua
harus mampu menuntun, mengarahkan, mengawasi, mempengaruhi dan menggerakkan si
anak agar penuh dengan gairah untuk memberikan motivasi pada anak. Sebaiknya
orang tua harus mampu berkomunikasi sehingga muncul kepercayaan timbal
balik dengan anak.
Sebenarnya orang tua tahu persis tentang anaknya. Dari
pengalaman sejak bayi lahir hingga masa anak-anak kita sudah mengetahui
kelebihan dan kekurangannya, jadi diperlukan keluwesan untuk mengubah tingkah
laku agar mau berprestasi. Orang tua harus terus menerus memperhatikan
perkembangan anak.
Keluarga dapat menciptakan suasana nyaman di rumah
agar anak merasa betah berada di dekat pemimpinnya. Ciptakan rasa aman dalam
dirinya, jangan sampai anak kita merasa lebih aman berada di lingkungan
teman-temannya ketimbang di lingkungan keluarganya.
C. Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak
Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin
memerlukan proses belajar. Pada awal proses belajar perlu adanya upaya orang
tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1) Melatih. (2)
Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral.
Jika anak telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai moral maka, (3) perlu adanya kontrol orang tua untuk
mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol
yang demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak untuk menginternalisasi
nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menciptakan dunia kebersamaan
yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua
dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang dapat
dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang
terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan
kontrol diri anak yang didasari nilai-nilai moral agama seyokyanya seperti
diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial, ekonomi,
ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain, semua
nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama
karena memberikan arah yang jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin
diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manakala
setiap orang tua dalam membantu anak untuk memiliki kontrol diri, berarti
mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk memiliki manajemen
diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif
kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam
membantu anak mutlak didahului oleh tampilnya:
Pertama. Perilaku yang patut dicontoh. Artinya, setiap
perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik,
tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan
lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu,
pengaktualisasiannya harus senantiasa ditujukan pada ketaatan
nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan dengan anak-anak.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada
anak-anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariaannya taat kepada
nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar
mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal
maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan komunikasi yang
dialogis ini akan menjembatani kesenjangan, keinginan dan tujuan di
antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak
berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan
anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan
permasalahan, berkenaan dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah
mampu melakukan intervensi damai terhadap kesalahan atau penyimpangan
perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah melakukan upaya bagaimana
meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol
terhadap perilaku anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan
nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin.
Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah
melakukan pengawasan dan bimbingan kepada anaknya untuk berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung kontrol orang tua
terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak melakukan dialog
dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama. Dalam
mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan hukuman, jika hal
tersebut dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak terhadap
perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan kembali.
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan
anak-anak terhadap nilai –nilai moral dapat diaktualisasikannya dalam
menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik. Hal ini dapat mendukung
terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap nilai-nilai
moral yang dikemasnya misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari
atau rak-rak buku yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama,
ruangan yang bersih, teratur, dan barang-barang yang tertata
rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan, pengaturan tempat belajar
dan suasana sunyi yang mencerminkan nafas kenyamanan dan
ketenangan dalam melakukan belajar; pemilihan tempat tinggal dapat
mengaktifkan anak dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak
dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam
kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya.
Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin
dekat dan akrab dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi
dengan menata lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas
nilai moral dalam pola hubungan antar keluarga, cara
berkomunikasi, kekompakan dan adanya indikasi-indikasi pendidikan.
Penataan ini merupakan realisasi orang tua dalam
mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan untuk menumbuhkan
kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata lingkungan sosial,
orang tua dituntut untuk menciptakan adanya pola komunikasi antar
anggota keluarga yang bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi
ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau
ungkapan kata.
Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota
keluarga menjadi lebih akrab, saling memiliki, dan merasa aman dalam
keluarga.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi
kebersamaan antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan
merupakan syarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan antara orang
tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin
bermakna bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang mendorong
kejiwaannya untuk mempelajari nilai-nilai moral. Upaya
yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam
keluarga. Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi
emosional dan suasana kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan
keluarga.
Kedelapan, penataan penataan suasana psikologis semakin
kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan
menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga.
Berdasarkan upaya di atas
sangat diperlukan sebagai panduan dalam membuat perubahan dan
pertumbuhan anak, memelihara harga diri, dan dalam menjaga hubungan erat
antara orang tua dengan anak. Dari ketiga panduan ini lahir
strategi yang mengharuskan orang tua memiliki kemampuan mengatur (manajemen)
anak, mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak untuk berperilaku
sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan
pendidikan. Selanjutnya Combs menyatakan bahwa bantuan yang
diberikan orang tua kepada anak-anak bagi kepemilikan disiplin
diri, sehingga mampu membantu mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai
moral bagi dirinya, memiliki pandangan yang positif terhadap
dirinya, membaca kesuksesan yang telah diraih dan memberikan
motivasi-motivasi untuk meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara
dirinya dengan anak-anak.
D. Pola
Pembinaan Keluarga
Pembinaan anak adalah tugas yang sangat mulia. Orang
tua memegang peranan penting dalam membina anak di lingkungan rumah tangga,
sebab orang tua yang hampir setiap hari berada di rumah. Lingkungan
keluarga adalah lingkungan pertama dan utama, orang tua haruslah
menjadi tokoh utama di dalam pekerjaan membina anaknya. Dalam pergaulan bersama
dengan anak-anaknya, teristimewa ketika mereka masih kecil, maka orang tua
haruslah senantiasa menjadi pembimbing dan teman mereka yang baik pula.
Orang tua yang harus dihormati bukanlah orang tua yang
tidak pernah menanamkan pendidikan keagamaan, tidak pernah memberikan contoh
tauladan yang baik, tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk belajar agama
dalam kehidupan sehari-hari dan tidak pernah mencerminkan syiar-syiar
Islam. Pokoknya dengan kata lain selaku orang tua tidak menanamkan
pendidikan keagamaan kepada anak-anaknya yang mengarah untuk mengenal sekaligus
berbakti kepada Allah SWT, dan berbakti kepada orang tuanya. Ibarat
memelihara binatang, cukup tiap harinya diberi makan dan minum, sandang sudah
cukup mewah, sementara rohaninya kosong dari nilai-nilai keagamaan.
Kalau memang demikian keadaannya, janganlah mengharapkan si orang tua itu harus
dihormati. Bagaimana anak harus berbakti, dia sendiri tidak tahu bagaimana
caranya harus berbakti, bagaimana anak mengajarkan shalat, kalau orang tuanya
sendiri tidak pernah memberikan contoh mengajarkan shalat kepada anaknya,
demikian seterusnya.
Anak adalah titipan Ilahi yang harus dipelihara
dan ditunaikan hak-haknya, sebab kelak pada hari perhitungan setiap orang akan
dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang dititipkan itu. Jadi selaku orang
tua, kalau ia mengharapkan harus ditaati olehnya anaknya, maka terlebih dahulu
para orang tua harus menanamkan modal dasar pendidikan hak-hak dari
anak-anaknya (dalam hal ini minta dihormati), maka laksanakanlah dahulu
kewajiban itu sebagai orang tua.
Ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak.
Perhatian, pengharapan dan kasih sayangnya, Sebab ia merupakan orang pertama
yang dikenal oleh anak. Ia menyusukannya dan ia mengganti pakaiannya,
artinya ialah yang memenuhi kebutuhannya akan makanan dan kebutuhan untuk
menghindari rasa sakit akibat basah. Lambat laun wajah ibu menjadi bergandengan
dengan pemenuhan kebutuhan primer penting tersebut, yang harus dipenuhi oleh
anak sehingga sesudah itu anak menginginkan supaya
ibunya senantiasa ada untuk dirinya.
Ibu sebagai pembimbing dan pengatur rumah tangga, baik
buruknya bimbingan itu terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan
watak dan karakter anaknya di kemudian hari.
Cara yang paling baik untuk membina anak supaya dapat
berkembang watak dan karakternya adalah dengan memberi teladan kepada
mereka. Pengendalian diri juga sangat perlu diajarkan seorang ibu kepada
anak di dalam rumah tangga, karena seorang anak yang dapat
mengendalikan diri, berarti pintu kebahagiaan akan terbuka baginya.
Itulah sebabnya seorang ibu harus membina anaknya
untuk mengendalikan tingkah lakunya melalui bimbingan yang dimulai dari
keluarganya. Sebab anak yang tidak dibina pola tingkah
lakunya dan tidak mampu mengendalikan diri, maka kelak akan mengalami kesulitan
hubungan sosialnya dalam pergaulan di masyarakat.
Bagi setiap ibu, mendidik anak-anaknya itu bukan
saja setelah lahir sampai beranjak dewasa, namun harus di mulai sejak dalam
kandungan dengan jalan memelihara dirinya dari setiap pengaruh kejiwaan yang
negatif, sebab hal itu akan banyak memberi pengaruh pula
terhadap faktor si anak yang berada di dalam kandungannya.
Suatu anggapan bahwa pekerjaan ibu di rumah tangga
nilainya kecil adalah keliru. Sesungguhnya, tugas mendidik anak bukanlah soal
kecil. Biarlah setiap ibu insyaf akan kesucian tanggung jawabnya. Tiada
pekerjaan lain yang bisa disamakan dengan pekerjaan pembentukan tabiat.
Setiap banyaknya orang di dunia ini yang tidak
menyadari cinta dan pengorbanan ibunya, demikian pula bahwa bukan sedikit kaum
ibu yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya terhadap
keturunan mereka. Bukan sedikitnya anak-anak muda yang
akhirnya menjadi rusak karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah
tangganya. Perasaan kurang perhatian dari orang
tua menyebabkan anaknya gelisah dan kurang puas.
Jikalau seorang ibu sudah mendidik anak-anaknya
tentang bagaimana menghormati, menuruti, mengendalikan diri, dan mempunyai
tabiat yang jujur, berarti seorang ibu sudah mempersiapkan anak-anaknya
yang tangguh dan berkepribadian yang tulus ikhlas, berpendidikan yang
luhur dan siap bergaul di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas
ibu adalah memelihara dan tugas ayah bekerja mencari uang. Seorang ayah tidak
pantas membuat atau menyediakan susu botol, menggendong, memandikan
dan mengganti pakaian, dengan kata lain terdapat pembagian tugas dan
kewajiban yang ketat antara ayah dan ibu. Untuk perkembangan anak
atau demi keharmonisan rumah tangga, anggapan bahwa
semacam itu sebetulnya merugikan. Seorang ayah sampai batas-batas
tertentu harus melibatkan diri dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Merawat
bayi dan anak bukanlah monopoli kaum ibu. Dengan sekali-kali ikut
menyediakan susu bayi, memandikan dan sebagainya. Di samping akan
menambah rasa hormat istri pada suami, juga akan terbina ikatan emosional
antara ayah dan anak.
Untuk menjalankan kepemimpinan dan pengawasan dalam
rumah tangga diperlukan kesabaran, ketabahan, keadilan dan wibawa
yang tinggi.
Hasil penelitian yang ada hingga sekarang telah
membuktikan bahwa faktor ayah merupakan faktor yang sangat penting dalam
pembentukan pribadi anak. Menurut teori psikoanalisis bahwa: “Ayah
merupakan tokoh identifikasi (di samping ibu) bagi anak, sementara anak
menjadikan pribadi ayah sebagai tolak ukur atau bandingan bagi perilakunya
sendiri.”
Selain itu, ayah juga merupakan tokoh pelindung, yang
di mata anak merupakan orang yang akan menyelamatkan dirinya, jika
sewaktu-waktu ada bahaya mengancam. Jelaslah, bahwa jika ayah melakukan
peranannya dengan baik, anak akan tumbuh menjadi orang yang
berkepribadian mantap. Sebaliknya jika ayah kurang berperan
dalam kehidupan anak, maka si anak akan kehilangan pegangan dan selalu merasa
ragu-ragu di samping kurang adanya rasa percaya diri.
Dalam pembinaan anak, diperlukan adanya tanggung jawab
orang tua harus ditempuh meliputi :
-
Memperlakukan anak-anak secara lembut dan penuh kasih sayang
-
Menanamkan rasa cinta kasih
-
Menanamkan akidah dan tauhid
-
Mendidik akhlak
-
Menyuruh berpakaian taqwa
-
Mendidik bertetangga dan bermasyarakat
-
Mencegah atau melarang pergaulan bebas
-
Mengajarkan Al-Qur’an
-
Mengajarkan halal dan haram
-
Menjauhkan hal-hal yang porno
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Moh. Sohib Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu
Anak Mengembangkan disiplin Diri (Cet I; PT Rineka Cipta; Jakarta: 1998),
h.1-6
Ali Ismail, Panduan Praktis Bagi Orang Tua
Mendampingi Remaja Meraih Sukses (Cet. I ; Jakarta: Pustaka Populer Obor;
2000). h. 35
http://www.masbied.com/2011/02/22/peranan-keluarga-dalam-menentukan-tingkat-disiplin-anak/


Tidak ada komentar:
Posting Komentar